Serba-serbi tentang puasa syawal

by - April 07, 2025

Apa dalil disyariatkannya puasa Sunnah Syawal ?

Syariat disunnahkannya puasa Syawal adalah karena terdapat Hadits Rasulullah ﷺ tentang itu beliau bersabda:

من صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا من شَوَّالٍ كان كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barang siapa berpuasa Ramadhan, kemudian melanjutkannya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun." [HR muslim]

Al Imam An Nawawi menjelaskan makna hadits tersebut:

فِيهِ دَلَالَةٌ صَرِيحَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَدَاوُدَ وَمُوَافِقِيهِمْ فِي اسْتِحْبَابِ صَوْمِ هَذِهِ السِّتَّةِ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ يُكْرَهُ ذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّأِ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَصُومُهَا قَالُوا فَيُكْرَهُ لِئَلَّا يُظَنَّ وُجُوبُهُ وَدَلِيلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ هَذَا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ الصَّرِيحُ وَإِذَا ثَبَتَتِ السُّنَّةُ لَا تُتْرَكُ لِتَرْكِ بَعْضِ النَّاسِ أَوْ أَكْثَرِهِمْ أَوْ كُلِّهِمْ لَهَا وَقَوْلُهُمْ قَدْ يُظَنُّ وُجُوبُهَا يُنْتَقَضُ بِصَوْمِ عَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَغَيْرِهِمَا مِنَ الصَّوْمِ الْمَنْدُوبِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَالْأَفْضَلُ أَنْ تُصَامَ السِّتَّةُ مُتَوَالِيَةً عَقِبَ يَوْمِ الْفِطْرِ فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عَنْ أَوَائِلِ شَوَّالٍ إِلَى أَوَاخِرِهِ حَصَلَتْ فَضِيلَةُ الْمُتَابَعَةِ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ أَنَّهُ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ 

"Hadits tersebut menunjukkan Terdapat dalil yang jelas bagi mazhab Syafi'i, Ahmad, Dawud, dan para ulama yang sependapat dengan mereka tentang anjuran berpuasa enam hari di bulan Syawal. Sementara itu, Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa puasa tersebut makruh. Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’ berkata, 'Aku tidak melihat seorang pun dari ahli ilmu yang berpuasa enam hari di bulan Syawal.' Mereka (ulama yang memakruhkan) beralasan bahwa puasa ini dapat menyebabkan kesalahpahaman mengenai kewajibannya.

Dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i dan para pendukungnya adalah hadis shahih yang jelas mengenai keutamaan puasa ini. Mereka juga berpendapat bahwa jika suatu sunnah telah tetap berdasarkan dalil yang shahih, maka tidak boleh ditinggalkan hanya karena sebagian atau mayoritas orang tidak mengamalkannya. Adapun alasan yang menyatakan bahwa puasa ini bisa disalahpahami sebagai wajib, maka ini dapat dibantah dengan perbandingan kepada puasa Arafah, Asyura, dan puasa sunnah lainnya yang juga memiliki keutamaan tetapi tidak dianggap wajib." [Syarh Shohih muslim Juz 8 Hal 56]

Apa makna "seakan akan berpuasa sepanjang tahun"?

Yang dimaksud berpuasa setahun penuh adalah seakan akan berpuasa fardhu satu tahun penuh.  Al Imam Al Mubarokfuri menjelaskan:

ولأبي داود فكأنما صام الدهر يعني إذا صام مدة عمره وإلا ففي أي سنة صام كان كصيام تلك السنة، وفي حديث ثوبان عند ابن ماجه وغيره كان تمام السنة، أي كان صومه تمام السنة إذا الستة بمنزلة شهرين بحساب ﴿من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها﴾ [الأنعام: ١٦٠] وشهر رمضان بمنزلة عشرة أشهر. وقد جاء ذلك مصرحا عند النسائي من حديث ثوبان ولفظه جعل الله الحسنة بعشر أمثالها، فشهر بعشرة أشهر، وصيام ستة أيام بعد الفطر تمام السنة، ولابن خزيمة صيام شهر رمضان بعشرة اشهر، وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام السنة.

"Dan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: 'Seakan-akan ia berpuasa sepanjang masa,' yakni jika ia berpuasa seperti itu sepanjang hidupnya. Jika tidak, maka di tahun mana pun ia melakukannya, ia mendapatkan pahala seperti berpuasa setahun penuh. Dalam hadis Tsauban yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya, disebutkan: 'Itu merupakan penyempurna tahun,' yaitu puasanya menjadi penyempurna tahun karena enam hari di bulan Syawal setara dengan dua bulan, berdasarkan perhitungan firman Allah:

‘Barang siapa berbuat kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipatnya’ (QS. Al-An'am: 160).

Bulan Ramadhan dihitung seperti sepuluh bulan, dan hal ini dijelaskan secara tegas dalam riwayat An-Nasa’i dari hadis Tsauban dengan lafaz:

'Allah menjadikan satu kebaikan bernilai sepuluh kali lipatnya, maka satu bulan dihitung sebagai sepuluh bulan, dan puasa enam hari setelah Idul Fitri menyempurnakan (pahala) satu tahun.'

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan:

'Puasa bulan Ramadhan bernilai seperti sepuluh bulan, dan puasa enam hari setara dengan dua bulan, sehingga totalnya menjadi puasa satu tahun penuh.'" [Mir'atul Mafatih syarh Misykatul mashobih Juz 7 Hal 63]

Apakah mereka yang tidak berpuasa ramadhan boleh puasa Sunnah Syawal?

Dalam hal ini terdapat Dua madzhab Pertama,madzhab Syafi'i mengatakan puasa 6 hari dibulan Syawal disunnahkan bagi siapapun baik mereka yang berpuasa dibulan ramadan ataupun tidak puasa.

Kedua,Madzhab imam Ahmad mengatakan: tidaklah disunnahkan berpuasa Syawal kecuali bagi mereka yang berpuasa ramadhan.

Disebutkan dalam kitab Mausu'atul Fiqhiyyah Al kuwaiytiyyah Juz 28 Hal 92-93 sebagai berikut:

وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ: اسْتِحْبَابُ صَوْمِهَا لِكُل أَحَدٍ، سَوَاءٌ أَصَامَ رَمَضَانَ أَمْ لاَ، كَمَنْ أَفْطَرَ لِمَرَضٍ أَوْ صِبًا أَوْ كُفْرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، قَال الشِّرْبِينِيُّ الْخَطِيبُ: وَهُوَ الظَّاهِرُ، كَمَا جَرَى عَلَيْهِ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ، وَإِنْ كَانَتْ عِبَارَةُ كَثِيرِينَ: يُسْتَحَبُّ لِمَنْ صَامَ رَمَضَانَ أَنْ يُتْبِعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَلَفْظِ الْحَدِيثِ. وَعِنْدَ الْحَنَابِلَةِ: لاَ يُسْتَحَبُّ صِيَامُهَا إِلاَّ لِمَنْ صَامَ رَمَضَانَ.

"Mazhab Syafi'iyyah berpendapat bahwa puasa enam hari di bulan Syawal disunnahkan bagi setiap orang, baik yang telah berpuasa Ramadhan maupun tidak. Ini termasuk bagi mereka yang tidak berpuasa Ramadhan karena sakit, masih kecil, kekafiran sebelumnya, atau alasan lainnya.

Asy-Syarbini Al-Khatib berkata, 'Ini adalah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana yang dianut oleh sebagian ulama muta’akhkhirin (ulama belakangan).' Meskipun banyak ulama yang menyatakan dalam lafaznya bahwa, 'Disunnahkan bagi orang yang telah berpuasa Ramadhan untuk melanjutkannya dengan enam hari di bulan Syawal,' sebagaimana yang disebutkan dalam hadis.

Sedangkan menurut mazhab Hanbali, puasa enam hari Syawal tidak disunnahkan kecuali bagi mereka yang telah berpuasa Ramadhan."

Apakah puasa 6 hari bulan Syawal harus berurutan? Atau boleh terpisah?

Jawabannya tidak. Karena memang teks hadits yang menyebutkan itu tidak memberikan tambahan adanya tatabbu’an atau berurutan. Teks hadits yang ada sifatnya mutlak begitu saja. Karenanya tidak harus berurutan, boleh dikerjakan secara terpisah yang penting masih di bulan syawal.

Lagi pula, keutmaan puasa setahun itu sebab jumlah harinya yakni 30 hari Ramadhan sama dengan 300 hari, dan 6 hari syawal sama dengan 60 hari. Dan keutamaan ini bisa didapatkan walaupun tidak berurutan. 

Al Imam An Nawawi mengatakan:

وَالْأَفْضَلُ أَنْ تُصَامَ السِّتَّةُ مُتَوَالِيَةً عَقِبَ يَوْمِ الْفِطْرِ فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عَنْ أَوَائِلِ شَوَّالٍ إِلَى أَوَاخِرِهِ حَصَلَتْ فَضِيلَةُ الْمُتَابَعَةِ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ أَنَّهُ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ قَالَ الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ وَقَدْ جَاءَ هَذَا فِي حَدِيثٍ مَرْفُوعٍ فِي كِتَابِ النَّسَائِيِّ

"Yang paling utama adalah puasa enam hari (Syawal) dilakukan secara berurutan setelah hari Idul Fitri. Namun, jika seseorang memisahkannya atau menundanya dari awal Syawal hingga akhir bulan, maka ia tetap mendapatkan keutamaan mengikuti (puasa Ramadan dengan puasa Syawal), karena secara makna tetap dianggap telah mengikuti Ramadan dengan enam hari dari Syawal.

Para ulama berkata: Puasa enam hari Syawal disamakan dengan puasa sepanjang tahun, karena satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Maka, puasa Ramadan setara dengan sepuluh bulan, dan enam hari Syawal setara dengan dua bulan. Hal ini juga disebutkan dalam hadits marfu’ yang terdapat dalam kitab An-Nasai." [Syarh Shohih Muslim Juz 8 Hal 56]

Hukum Membatalkan puasa Syawal?

Kesepakatan 4 madzhab, bahwa orang yang berpuasa sunnah lalu membatalkan puasanya tersebut; itu tidak mengapa, tidak berdosa dan tidak ada qadha baginya. Dengan catatan bahwa pembatalan puasa sunnah tersebut karena alasan mendesak atau udzur yang memang dilegalkan; seperti sakit, atau ada kewajiban mendesak yang harus diselesaikan dengan badan yang fit. Artinya pembatalannya tersebut bukan tanpa sebab.

Itu yang disepakati! Akan tetapi ada masalah yang tidak disepakati; yakni jika orang berpuasa lalu dengan sengaja dan tanpa sebab membatalkan puasa itu tanpa alasan. Ini yang ulama 4 madzhab kemudian terbagi dalam 2 pendapat; Melarang dan Mewajibkan Qadha, kedua Membolehkan secara Mutlak.

Al Imam Ibnu Rusydi mengatakan:

وَأَمَّا حُكْمُ الْإِفْطَارِ فِي التَّطَوُّعِ: فَإِنَّهُمْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى مَنْ دَخَلَ فِي صِيَامِ تَطَوُّعٍ فَقَطَعَهُ لِعُذْرٍ قَضَاءٌ. وَاخْتَلَفُوا إِذَا قَطَعَهُ لِغَيْرِ عُذْرٍ عَامِدًا، فَأَوْجَبَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَجَمَاعَةٌ: لَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ.

"Adapun hukum membatalkan puasa sunnah, para ulama sepakat bahwa siapa pun yang memulai puasa sunnah lalu membatalkannya karena suatu udzur, maka ia tidak wajib menggantinya.

Namun, mereka berbeda pendapat jika seseorang membatalkan puasa sunnahnya tanpa uzur dan secara sengaja. Imam Malik dan Abu Hanifah mewajibkan qadha (pengganti), sedangkan Imam Syafi'i dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa ia tidak wajib menggantinya." [Bidayatul Mujtahid Juz 2 Hal 74]

Lagi puasa Sunnah Syawal terus silaturahmi,mana yang lebih utama lanjut puasa atau batalkan?

Dalam permasalahan ini perlu di perinci,kita harus tahu/memperkirakan terlebih dahulu apakah tuan rumah berkeberatan atau tidak dengan puasa kita. Kalau ia tidak berkeberatan maka kita tetap lanjutkan berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya.

Syaikh Khotib Asy Syirbini menjelaskan didalam kitabnya:

فَإِنْ شَقَّ عَلَى الدَّاعِي صَوْمُ نَفْلٍ) مِنْ الْمَدْعُوِّ (فَالْفِطْرُ) لَهُ (أَفْضَلُ) مِنْ إتْمَامِ الصَّوْمِ وَلَوْ آخِرَ النَّهَارِ لِجَبْرِ خَاطِرِ الدَّاعِي: «لِأَنَّهُ ﷺ لَمَّا أَمْسَكَ مَنْ حَضَرَ مَعَهُ وَقَالَ: إنِّي صَائِمٌ. قَالَ لَهُ: يَتَكَلَّفُ لَك أَخُوك الْمُسْلِمُ، وَتَقُولُ: إنِّي صَائِمٌ؟ أَفْطِرْ، ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ» رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ: فَإِنْ لَمْ يَشُقَّ عَلَيْهِ ذَلِكَ فَالْإِمْسَاكُ أَفْضَلُ، وَلَا يُكْرَهُ أَنْ يَقُولَ: إنِّي صَائِمٌ، حَكَاهُ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ عَنْ الْأَصْحَابِ، أَمَّا صَوْمُ الْفَرْضِ فَلَا يَجُوزُ الْخُرُوجُ مِنْهُ وَلَوْ مُوَسَّعًا كَنَذْرٍ مُطْلَقٍ.

"Jika puasa sunnah seseorang menyulitkan tuan rumah yang mengundangnya, maka berbuka lebih utama baginya daripada menyempurnakan puasanya, meskipun sudah di penghujung hari, demi menghormati perasaan tuan rumah.

Hal ini berdasarkan kisah ketika Nabi ﷺ sedang berpuasa, lalu orang-orang yang hadir bersamanya juga menahan diri dari makan. Kemudian seseorang berkata kepada beliau: “Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha’lah pada hari lain sebagai gantinya,” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan lainnya.)

Namun, jika puasanya tidak memberatkan tuan rumah, maka tetap melanjutkan puasa lebih utama. Tidak makruh jika seseorang berkata, "Aku sedang berpuasa," sebagaimana dinukil oleh Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib dari para ulama mazhab.

Adapun puasa wajib, maka tidak diperbolehkan membatalkannya, meskipun itu adalah puasa wajib yang waktunya masih luas, seperti puasa nadzar yang tidak ditentukan waktunya." [Mughnil Muhtaj Juz 4 Hal 409]

Sumber: Ust Muhammad Abdul Basith

You May Also Like

0 comments