Bukan Good-Looking yang terpenting, tetapi Good Thinking
• Anda tahu Al-Jahizh (w. 255 H)?
Syekh Fauzi Konate seringkali memuji keilmuan seorang ilmuan terkenal muslim bernama Al-Jahizh. Beberapa kali saya mendengar beliau mengulangi kisah berikut ini:
Dahulu, ada seorang wanita pergi ke pasar ke tukang cincin. Dia meminta kepada Kang Cincin “Kang, tolong buatin saya mata cincin bergambarkan Iblis.”
Kang cincin terperangah. “Tapi, Neng. Saya ga tahu rupa iblis itu kek gimana.”
Wanita itu pun datang ke rumah seorang pria yang dia kenal meminta bantuan untuk mengikutinya ke pasar. Pria yang baik hati itu menuruti. Setelah sampai di hadapan kang cincin, “Liat dia ini kang. Gambarkan mata cincin saya persis dengan rupa orang ini.”
Pria yang dijadikan sampel untuk rupa Iblis tersebut tak lain adalah Al-Jahizh. Al-Jahizh sama sekali tidak tersinggung, malah menceritakan sendiri kisah tersebut dalam kitabnya. Memang kitabnya, tak jarang dipenuhi dengan kelucuan.
Lalu Syekh Fauzi memungkasi kisah tersebut, “Memang Al-Jahizh terkenal dengan buruk rupa. Tetapi ilmunya memenuhi dunia.” Karya-karya Al-Jahizh menjadi sumbangan penting bagi ilmu bahasa, sastra, filsafat, politik, sejarah, budaya, sosial, hingga sains.
• Anda tahu Ibrahim Al-Nakha’i (w. 96 H)?
Beliau salah satu founding father Ilmu Fiqih yang kita pelajari sampai hari ini, khususnya Madrasah Ahlur Ra’yi di Kufah, sebagaimana dikatakan penyair:
الفِقْهٌ زَرْعُ ابْنِ مَسْعُوْدٍ وَعَلْقَمَةُ * حَصَّـــادُهُ ثُمَّ إِبْرَاهِيْمُ دَوَّاسُ
نُعْمَـــانُ طَاحِنُهُ يَعْقُـوْبُ عَاجِنُهُ * مُحَمَّدٌ خَابـِـــــزٌ وَالآكـلُ النَّاسُ
“Ilmu Fiqh ditanam oleh Ibnu Mas’ud. Dipanen oleh Alqamah bin Qays. Digiling oleh Ibrahim Al-Nakh’iy. Ditumbuk oleh Abu Hanifah Al-Nu’man. Diadon tepungnya oleh Abu Yusuf. Dibuat menjadi roti oleh Muhammad Al-Syaibani. Lalu dimakan oleh orang-orang.”
Sebagai mujtahid mutlak dengan ribuan murid, beliau memiliki kecacatan fisik, yaitu matanya yang juling (A’war). Beliau punya murid hebat kesayangan, bernama Sulaiman bin Mihran yang terkenal dengan Al-A’masy (w. 147 H). Seorang muhaddits besar yang seringkali kita temukan namanya dalam sanad hadis di Kutub Sittah. Al-A’masy memiliki mata yang sangat rabun. Sehingga kalau jalan perlu dituntun.
Antara guru dan murid itu, kalau jalan ke masjid, mereka jalan berdua saling menuntun. Sehingga orang-orang awam yang nongkrong di jalan menertawakan mereka, “Hey.. Hey.. Liat tuh! Dua orang jalan, yang satu matanya juling. Yang satunya buta.” Disambut gelak tawa.
Karena ditertawakan, Ibrahim Al-Nakh’iy esok harinya bilang, “Sulaiman, gimana kalau sekarang kita jalan lewat jalur lain yang sepi. Walaupun agak jauh, agar orang-orang tidak berdosa karena menertawakan kita.”
Sang murid menjawab gurunya:
يا أبا عمران ؛ وما عليك أن نُؤجَر ويأثمون !
“Tidak mengapa, kan mereka berdosa, tapi kita berpahala karena bersabar.”
Tapi lihat apa jawaban sang guru yang menggambarkan kemuliaan akhlaknya:
يا سبحان الله ! بل نسلم ويسلمون خير من أن نؤجر ويأثمون
“Subhanallah! Bukankah ketika kita dan mereka sama-sama selamat dari dosa, itu lebih baik daripada kita mendapat pahala tapi mereka dapat dosa!?”
Demikianlah hati yang terhiasi dengan keimanan dan menghayati betul sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam “Tidak beriman seorang dari kalian, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Maka lihatlah, walhasil Imam Ibrahim Al-Nakha'iy dan Imam Al-A'masy dengan keterbatasan fisiknya menjadi imam besar bagi umat. Sedangkan mereka yang menertawakan?
• Anda Tahu Atha’ Bin Abi Rabah (w. 114 H)?
Digelari Sayyidu Al-Tâbi’în, salah satu ulama terbaik di generasi tabi’in. Paling kredibel dalam berfatwa di Mekkah. Bahkan para sahabat yang menjumpainya, mengakui kealimannya. Sayiduna Abdullah bin Abbas misalnya, ketika beliau telah sepuh dan orang-orang datang minta fatwa kepadanya, beliau mengatakan “Kalian perlu datang kepadaku, padahal di tengah-tengah kalian ada Atha?”
Begitupun cicit Rasulullah SAW, Sayiduna Abu Ja’far Al-Baqir merekomendasikan orang-orang untuk mengambil ilmu dari Atha.
Tetapi, kalau kita berbicara soal body-shaming, dalam membaca biografi hidupnya, para ulama mendeskripsikan Atha bin Abi Rabah sebagai seorang yang berkulit hitam. Pendek. Tangannya buntung karena terpotong saat berperang. Hidungnya pesek pun terkena sayatan. Soal status sosial, Atha’ berasal dari kalangan budak.
Meski dengan serba kekurangan fisik seperti di atas. Jika telah duduk di kursi Masjidil Haram mengisi majlis ilmu dan fatwanya, orang-orang hampir tidak menemukan tempat sangking ramainya. Tak heran, riwayat-riwayat hadis, pendapat dan fatwanya sangat sering kita jumpai dalam kitab-kitab Tafsir dan Hadits.
Ilmu juga telah membuatnya menjadi penuh wibawa, sehingga Khalifah Abdul Malik bin Marwan, yang terkenal tegas, gentar ketika berhadapan dengan Atha’.
Selain kehebatan dalam ilmu, akhlak dan kezuhudan, Atha’ terkenal enerjik dalam beribadah. Ibnu Juraij menceritakan, “Ketika usia Atha sudah sepuh, dia tetap bisa shalat dengan membaca 200 ayat dalam satu raka’at.” Dalam hidupnya, ia menunaikan ibadah haji sebanyak 70 kali.
Pada masa sekarang, ada seorang ulama hebat bernama Syekh Al-‘Allâmah Muhammad Amin bin Abdullah Al-Harari. Beliau baru wafat dua tahun lalu, tepatnya 4 November 2019.
Beliau dapat dikategorikan sebagai ulama masa ini yang paling produktif dalam menulis kitab-kitab berkualitas. Di antara karyanya:
1. Tafsir Hadâ’iq Al-Rawh wa Al-Rayhân: 32 jilid.
2. Syarh Shahîh Muslim “Al-Kawkab Al-Wahhâj Wa Al-Rawdh Al-Bahhâj Fî Syarh Shahîh Muslim ibni Hajjâj”: 26 jilid.
3. Syarh Sunan Ibnu Majah “Mursyid Dzawi Al-Hijâ wa Al-Hâjah Ilâ Syarhi Sunan Ibni Mâjah”: 25 Jilid.
Dan masih banyak karya lainnya dalam Ilmu Hadits, Ilmu Rijal, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharf, Ilmu Mantiq, Ilmu Balaghah dan lain-lain.
Di zaman media sosial, saat standar idola anak muda bahkan emak-emak dilihat dari keunggulan fisik yang di atas rata-rata. Mendewakan good-looking. Berkiblatkan K-POP, BETEES dan semacamnya. Mungkin kita seringkali merasa minder. Kadang benak darah mud akita tidak bisa dikontrol untuk terobsesi gimana rasanya jadi selebriti ganteng macam Reza Rahadian, Iqbal Ramadhan, Angga Yunanda, Jefry Nichol, Rizky Nazar dan pemilik jutaan follower lainnya. Bahkan katanya, sekarang santri-santripun tak mau ketinggalan berlomba untuk tampil good-looking.
Ketika obsesi macam itu merayu, mari kita ingat kisah ulama-ulama di atas. Bagaimana Al-Jahizh, Ibrahim Al-Nakha’I dan Al-A’masy yang kena body-shaming dari orang-orang jahil. Dan tentu masih banyak lagi ulama lain yang notabene kurang beruntung kalau dari segi fisik, namun lihatlah bagaimana ketinggian derajat mereka.
Ini menjadi ibrah penting bagi kita akan Sunnatullah bahwa standar untuk menjadi mulia di hadapan Allah adalah ketakwaan dan ilmu. Yang perlu berusaha kita jaga itu rating kita di hadapan Sang Pencipta, bukan rating di hadapan media.
Bukanlah good-looking yang penting, tapi good attitude dan good-thinking.
Sumber: Tgh. Zainuddin, MA.
0 comments