Dibalik senyuman putri AYAH eps 04

by - Januari 11, 2024

Kedua mataku berputar-putar memperhatikan bangunan di depan mata. Ya rumah sakit Zainal Abidin. Baru ini pertama kali menginjakkan kaki di bangunan serba putih dan besar. Kaki terus melangkah mengikuti jejak kaki orang yang di depan. Kemana orang itu melangkah kesitulah Aku berjalan.

"bisa tersesat ni gede banget" ngomong di hati

Langkah pemuda di depan berhenti di depan pintu penuh dengan banyak orang. Tak salah Aku juga ikut berhenti mendadak. Banyak sekali penduduk di ruangan ini. Menunggu dengan setia kapan nomor antrian mereka di panggil. Sebelum di titik mereka di panggil sama petugas teller, mereka harus melewati desak-desakan ambil nomor antrian di mesin. Kayak ambil sembako aja berebut-rebutan. Beginilah yang Aku rasakan saat ini. Di dorong-dorong sama bapak-bapak semua pengen dapat.

"ya tuhan gimana ini?" Badan ku yang kecil seakan jatuh saat berdesakan dengan makhluk hidup di depan. Jika disuruh pilih tidak mau di tempat mesin nomor ini. Berdesakan hanya untuk satu kertas kecil yang di tulis angka. Cekrid yang telah menyuruh ku menarik kertas yang keluar di dalam mesin.

Geram melihat para spesies di depan ini. Tidak ada kuasa di tempat ini mana bisa Aku berontak, yang ada Aku di semprot pakek ocehan mereka.

Apa mereka pikir mereka doang yang pengen cepat?

Hellooooooo kami juga pengen cepat loh. Mentang-mentang badan ku kecil harus dahului yang besar dulu. Mana sistem antri nya, masak heboh kayak gini. Takut kayak gak kebagian apa. Sembako aja rata dibagi semua bagi yang nama tertera di kertas.

Kertas putih kecil berbentuk persegi berhasil Aku dapatkan. Memang benar usaha tidak mengkhianati hasil. Kini saat nya istirahat pantat di kursi panjang hitam. Menunggu kembali suara panggilan nomor antrian.

Kini tiba giliran kami. Petugas itu menjelaskan lokasi yang harus kami tuju. Salah satu dari kami tidak ada yang tau letak ruangan itu. Jelas baru pertama kali berada disini. Berjalan terus menyelusuri semua ruangan yang tidak absen dari pasien. Mau baca nama ruangan tidak sempat. Kaki harus melangkah lebih besar mengikuti langkah di depan.

Ketemu salah satu kenalan saudara disini begitu bersyukur. Beliau membawa kami ke tempat yang kami cari dari tadi. Pria itu berhenti di depan pintu ruangan saraf di lantai satu. Terima kasih dilantunkan kepada beliau sudah bersedia antarkan kami tepat di ruang saraf. Beliau membalas dengan senyuman dan izin pamit sama kami masih ada urusan yang belum kelar.

"ayah duduk di kursi ini" ucap aku kasihan melihat ayah berdiri terus. Kursi disini tinggal beberapa yang kosong. Lainnya sudah di tempati yang duluan ke ruang ini. Ayah sakit lebih berhak duduk dari pada kecapekan berdiri. Biarkan orang yang masih sehat saja berdiri. Tanpa menjawab apapun Ayah duduk langsung. Seperti nya Ayah capek banget dari tadi jalan terus. Ku perhatikan wajah ayah nampak pucat. Tidak segar seperti orang-orang sehat umumnya.

Berkas pengobatan punya ayah sudah di serahkan kepada perawat di dalam. Kami belum masuk kedalam ruangan. Di dalam ruangan penuh sekali. Kursi tunggu yang ada di dalam ruangan tidak tersisa satu pun. Makanya kami masih ada di luar ruangan saraf. Tepat di pintu saraf. Perasaan ku mengatakan kayak nya ayah terlalu banyak mikir. Mata nya memandang ke dalam ruangan serba putih itu. Perasaan bercampur aduk. Mungkin itulah yang sedang dirasakan oleh ayah saat ini.

Aku ikut melirik kemana arah mata ayah memandang. Di dalam ruangan saraf tidak nampak dokter. Dokter dan perawat tertutupi oleh dinding ruangan satu lagi. Begini gaes di dalam ruangan saraf ini ada satu ruang lagi. Seperti ruangan kecil. Dan di ruang itulah pasien di periksa tanpa di lihat oleh pasien lainnya. Tidak dibolehkan banyak orang masuk di tempat pemeriksaan itu. Paling satu orang mewakili dari kerabat pasien.

Kenapa lama sekali sih?. Ada lowongan di kursi itu?. Masih penuh apa ada kosong?. Pertanyaan itu menari-nari di kepala ku. Mengintip di pintu masuk yang tidak terlalu terang. Wahhh ada tuh kursi kosong di dalam. Angkat pantat hilang tempat.

"Ayah duduk dikursi yang di dalam tuh aja. Mumpung ada kosong" saat ku pastikan benar ada kursi kosong di dalam ruangan. Tapi ayah ku tidak bangun dari duduk nya. Ya tuhan kayaknya benar tenaga ayah ku terkuras saat berjalan. Nyata nya tubuh beliau nampak lemas banget. Apa yang harus ku lakukan biar gak lama-lama disini?.

Tidak menunggu lagi terlalu lama. Aku buka pintu ruangan tersebut ku duduk di tempat kursi yang kosong. Entah apa reaksi keluarga ku di luar ruangan itu. Di samping kanan kiri ku adalah pasien sakit. Kursi tunggu ini hanya aku pasien sehat duduk disini. Ahh apa yang telah aku lakukan?. Berada diantara pasien-pasien sakit. Apakah tidak apa-apa?. Ketularan gak ya?. Salah sendiri sih nina siapa juga yang nyuruh duduk disitu. Udah ah duduk aja yang anteng. Sesekali ku kasih kode sama Ayah di luar supaya beliau masuk kedalam ruangan. Hasilnya nihil ayah tidak paham kode-kode.

"adek sakit juga?" Pertanyaan dari perawat yang berdiri di depan ku. Perawat itu kayak nya dari tadi merasa curiga dengan kelakuan ku. Sibuk memberi kode kepada ayah tertangkap basah deh sama perawat ini.

Aku memberi jawaban dengan geleng kepala. "oh kalau adek gak sakit tunggu diluar saja. Kursi ini khusus untuk pasien sakit aja". Ya tuhan aku diusir sama perawat ini. Ahhh malu banget, untung aku pakai masker. Ku angkat pantat dari ruangan itu karna diusir gaes.

"kenapa dek?" Tanya mama melihat aku keluar lagi dari ruangan. Pertanyaan mama belum ku jawab. Aku menghampiri ayah beritahu pada beliau untuk duduk di dalam saja. "ayah duduk disana biar cepat di panggil" kekeuh ku bujuk ayah agar mau duduk di kursi tunggu di dalam ruang. Ayah mengganguk sebagai jawaban ku anggap setuju. Tak lama kemudian pantat ayah akhirnya menempel di bekas kursi yang ku duduki tadi. Sambil menunggu giliran ayah di periksa, kami diluar ruangan mengobrol ringan. Untuk menghilangkan rasa jenuh yang melanda. Salah satu perawat berdiri di pintu memanggil kerabat pak Kamal. Mendengar nama ayah disebut mata kami melirik ke sumber suara. Perawat itu beritahu bahwa sekarang giliran ayah kami di periksa. Makanya harus ada satu kerabat yang mewakili masuk ke dalam.

Biarkan adik ayah saja yang masuk. Ya di persilahkan cekrid ke dalam ruangan lalu aku bersama mama dan cut ngoh menunggu di luar. Belum ada tanda batang hidung cekrid keluar dari pintu. Timbul perasaan was-was dalam diri ini. Memikirkan apa yang terjadi di dalam. Apakah ayah harus di operasi?. Astaghfirullah. Apa yang ku pikirkan?. Kenapa aku malah berpikir tidak-tidak?. Jangan sampai aku memikirkan yang bukan-bukan.

Hati ini gak berhenti ucapkan istighfar. Perasaan was-was datang nya dari setan. Maka dari itu kita mesti berlindung kepada tuhan kita. Berdoa agar kita tidak hanyut di dalam jebakan setan. Baca surat an-nas supaya hati kita tenang dari perasaan was-was. Orang yang di tunggu akhirnya keluar lewat pintu. Di belakang cekrid disusul satu orang lain yaitu ayah. Ayah sudah selesai di periksa.

"gimana cek?" Suara cut ngoh mendahului bertanya. Pertanyaan itu yang udah aku siapkan malah keduluan di serbu oleh cut ngoh. Ku simpan saja kembali pertanyaan itu rapat-rapat di dalam otak. Sekarang kami berada di posisi tengah. Sama-sama melangkah, cekrid dan ayah melangkah menuju kami, begitu juga dengan kami menghampiri mereka. Sudah lah ambil jalan tengah aja.

Wajah ayah tidak sepanik pagi tadi. Nampak ada senyuman manis di wajah ayah. Mungkin sekarang beliau udah tenang dengan hasil pemeriksaan tadi. "dokter bilang gak payah operasi. Itu gak apa-apa di otak hasil scan tadi." Utarakan cekrid yang berada di dekat ayah.

"alhamdulillah" serentak kami bertiga ucapkan.

"ini obat yang harus di minum untuk mengurangi sakit kepala" lanjut cekrid menampilkan sebuah resep tertulis di kertas. Tugas sekarang menuju ke tempat pengambilan obat. Tak segampang itu. Eh mirip lagu ya.

Waktu demi waktu

Hari demi hari

Sadar ku t'lah sendiri

Kau t'lah pergi jauh

Tinggalkan diriku

Ternyata ku rindu

Senyuman yang slalu membungkus hati yang terluka

Di depan mereka

Tuhan masih pantaskah ku tuk bersamanya

Karna hati ini inginkannya

Tak segampang itu ku mencari penggantimu

Tak segampang itu ku menemukan sosok seperti dirimu cinta

Kau tahu betapa besar cinta yang ku tanamkan padamu

Mengapa kau memilih untuk berpisah

Tak segampang itu~Anggi Marito

Mana ada gampang gaes. Jalan lagi ke tempat pengambilan obat yang jauh dari ruang saraf. Ruang saraf berada di ujung kanan sedangkan tempat ambil obat letak nya di ujung sebelah kiri. Oh kaki kamu harus kuat ya untuk melangkah kesana. Gak boleh ada acara buka-bukaan. Masih ingat kan ini bulan puasa. Belum saatnya buka cuaca masih siang. Gerah. Tenggorokan kering. Cuaca panas benget lagi.

Tiba di tempat ambil obat. "dek serahkan resep ni ke petugas". Baru aja mau nempelin pantat di sembarangan tempat. Harus bangun kembali ambil uluran resep di tangan cekrid.

"bu mau ambil obat ini" ku serahkan resep itu pada ibu petugas lewat bolongan kaca. Petugas itu mengambil nya dengan berkata "di tunggu sebentar ya dek".

"baik bu" ucap ku sambil menempekan badan ke dinding. Butuh sandaran dinding pun jadi. Beberapa menit kemudian petugas itu bersuara kembali "atas nama pak kamal". Aku berdiri tegak menuju petugas tersebut. Ku terima obat itu tak lupa ku ucapkan terima kasih pada petugas itu.

"udah ni" ku kasih nampak obat yang telah ku ambil tadi pada keluarga. Obat itu di terima sama mama lalu di simpan terus di tas nya. Kini saatnya pulang karna gak ada yang parah sama kondisi ayah. Belum melaksanakan sholat zuhur kini singgah dulu di mesjid Baiturrahman. Aku mendahului mama dan ayah yang masih ketinggalan di belakang. Buru-buru sekali aku melangkah ingin menyaksikan keindahan yang tuhan ciptakan. Mesjid yang begitu indah di kelilingi payung-payung yang terbuka. Dingin nya lantai menusuk ke hati mendalam. Memang terasa dingin karena disini gak boleh pakai alas kaki dimulai dari pintu gerbang masuk.

Pandangan ku mengarah ke belakang melihat ortu ku. Aku tersenyum lihat mama mengandeng tangan ayah. Kayak nya ayah capek terus berjalan itu sebabnya mama gandeng tangan ayah.

"ya tuhan aku bersyukur bisa sholat disini". Lirih ku tanpa di dengar siapa pun.

Langkah kaki menuju ke tempat wudhu. Unik nya tempat wudhu di sini terletak di bawah. Ibarat nya kayak dalam terowongan gitu. Turun lagi ke bawah dengan anak tangga. Di tempat wudhu ini pun luar biasa cantik nya. Tak ingin sia-siakan moment langsung deh selfie di cermin yang ada di wc.

"dek wudhu terus jangan lama-lama" suara mama mengganggu aktifitas ku. Aku masih juga berfoto dulu karna belum puas.

"apa sibuk foto, ayok cepetan takut tau kalau gempa ntar rubuh yang di atas, kita di bawah ni" mulai deh mama ku overthingking.

"ga ada loh ma" ku yakinkan mama biar ga panik

"lama mama tinggal terus ya" udah deh aku buru-buru terus ambil wudhu daripada di tinggal sendirian di bawah sini.

"Assalamu'alaikum warahmatullah". Ucap salam sambil menengok ke sebelah kanan kiri. Kedua tangan menengadah ke atas.

Rabbil firli waliwaalidayya, warhamhumaa, kamaa robbayaanii shoghiiroo. Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, engkau lah yang maha menyembuhkan segala macam penyakit, sembuhkanlah penyakit Ayah ku, sehatkanlah ia kembali, karena hanya Engkau yang bisa menyembuhkan. Hanya padamu aku minta pertolongan. Rabbana aatiina fiddunya hasanah wa fiil akhirati hasanah wa qina adzaban nar. Aaaminnn. Ku usap kedua tangan diwajah.

Bersambung.........

You May Also Like

0 comments